Ada yang bilang kesejatian itu sederhana, bahwa kebijaksanaan tertinggi itu begitu simplenya hingga ia dapat dituliskan pada sebuah batu kecil. Lantas saya bertanya untuk apa dunia yang kompleks ini.
Literatur keagamaan kitab al-quran menyebutkan bahwa hidup ini tidak lain hanyalah senda gurau belaka. Maka kesimpulan yang menjadi jelas bagi saya adalah semua yang terlihat adalah gangguan, distraction, dari apa yang sesungguhnya.
Dari situ setiap orang dapat mengambil sikap yang berbeda-beda. Bisa bunuh diri, mencari ajaran-ajaran yang tidak umum (karena yang umum dianggap distraction semata), ada yang menikmati hidup hingga tetes terakhir tanpa batasan dan lain sebagainya. Semua sikap itu bergantung pada bangunan paradigma dan informasi yang diterimanya selama seseorang itu hidup. Yang membantuk sebuah ‘jembatan fakta’, kebenaran personal yang menjustifikasi apapun tindakan yang dia ambil berdasarkan kesimpulan awal tadi.
Itu juga yang saya rasa menimbulkan istilah ‘tidak ada kebenaran yang mutlak’. Bagaimana sesuatu yang sudah benar, belum tentu benar bagi semua orang. Tak terhitung orang yang menjabarkan ini dengan berbagai macam cara, salah satunya dalam kasus gambar kubus yang dilihat dari berbagai sisi.
Sebuah puncak gunung terkadang sederhana, hanya sebuah lahan yang tidak begitu luas yang berada di pucuk gunung. Tapi jalan menuju puncak bukan Main rumitnya, betapa menuntutnya perjalanan itu kepada sang pendaki.
Hidup itu sementara, sebuah selisih waktu semenjak kita lahir hingga mati. Seperti kembalian recehan yang terlihat banyak, dan akhirnya kita sadar hanya tersisa sebuah koin saja. Dan kelihatannya hidup itu adalah sekumpulan peristiwa temporer yang memerangkap kita dalam hal temporer tersebut.
Tak jarang yang rumit terlihat mentok, yang menyedihkan terasa melumpuhkan, yang tak pasti terlihat mutlak. Karena ketidaktahuan kita akan peristiwa temporer sedetik ke depan dari detik yang sekarang ini. Dan manusia nampaknya memiliki kecenderungan untuk selalu menginginkan yang tak mungkin, yang tidak dimilikinya sekarang. Dalam kasus ini; kepastian. Kepastian bahwa dia akan sembuh, akan tidak tersakiti, akan keberhasilan, akan kepercayaan. Kontradiktif dengan ketidaktahuan kita akan peristiwa sedetik ke depan.
Maka dari itu sepanjang hidupnya manusia membangun perangkat-perangkat yang membuat semuanya lebih mendekati kepastian. Pertanyaannya, apakah betul kita selalu membutuhkan kepastian sedemikian rupa? Apakah ‘kepastian’ yang kita kejar bukanlah sebuah objek temporer yang bertugas menjebak kita dalam kondisi temporer lainnya? Apakah sebuah kepastian kecil sebegitu terfokusnya untuk kita urusi sehingga kita ternyata jadi kurang siap terhadap serbuan momen temporer lain yang datang berbarengan?
Ketika seseorang hidup, dan menggunakan pedoman kehidupan hasil comot sana sini sepotong-sepotong tanpa melihat teks dan konteks utuhnya. Maka semesta keancuan akan segera mewarnai pikirannya. Contoh apabila kita hanya melihat tekstual Quran dalam satu sisi itu saja, hal yang paling gampang dilakukan adalah bunuh diri. Sebab buat apalagi hidup di dunia yang semua cuma omong kosong. Namun bila kita melihat pada kontekstual Quran menjadi relevan, dalam skup agama Islam, kita segera tahu ada dalil lain yang menerangkan pernyataan tersebut. Bahkan menjabarkan how to live through it and safe to the next side. Tentang bagaimana dia selamat dari kekonyolan senda gurau.
It is bullshit, it is a joke, but it is also a place for some of us to make the temporaries matters.
Fuck i dont know, i dont understand myself either.
Reply