Waktu Itu, Di Atas Sini

tersentuh jendela alumunium, dingin.
pada ketinggian ini
lampu-lampu menggantikan bintang
membentuk wajahmu

“mari pindahkan sofanya
sehingga kita bisa memandangi
kota dalam pelukan”

katamu, sukamu.
aku berdiri canggung
di depan jendela ini.
masih terasa guratan di lantai
bekas sofa itu bergeser
aku merasakan bahumu yang mengangkatnya
aku lihat candamu

ah
nafasku merutuk
sadar bahwa sekarang dada yang berdegup
hanya sendiri
hanya aku bersama kenangan di ruang ini

rasanya jiwaku tinggal bayangan
ketika kau tak bisa melihatku
ketika kau memandangku kosong
aku menjadi asap, menjadi kapas tanpa harga

kau, kau, dan lagi-lagi kau
kenapa kita mesti bertemu
kenapa mesti kau sulut cintaku
dan membiarkannya menyala sendirian

kuketuk dahiku pada kaca
masih terasa nafasmu dileherku
menyebut namaku dan mengatakan rindu
betapa luruhnya jiwaku, bergolak haruku
dan kubenamkan segalanya padamu

satu titik air mata
membasahi pahaku
kusebut namamu, kusebut namamu,
seperti zikir yang mengantarku ke neraka

panggil aku
dan saat itu juga aku berlari menujumu
berikan senyummu
aku akan menyerah padamu
rajaku,
lelakiku,
permata kegelapanku.
tinggal kenang ini yang kau sisakan
tinggal sesak ini yang kau kecupkan

aku menangis, dan berbisik pelan;
bajingan…